For Season For Love
Prolog
Seoul, South Korea
There
is no reason to loving someone….
Seorang gadis berdiri mematung di
balkon sebuah ruangan di rumah sakit. Matanya indahnya tak berhenti menatap
sang surya yang hendak pulang ke peraduannya. Matahari terbenam di Kota Seoul,
indah sekali. Udara sore yang dingin tak ia pedulikan, meski terus menerus
menghembus tubuh mungilnya yang masih dalam kondisi lemah. Seorang pria
memperhatikannya dari bawah gedung rumah sakit sambil tersenyum.
“Bagaimana keaadanmu, Chagi?” Tak beberapa lama kemudian pria
itu sudah berdiri disampingnya.
“Baik-baik saja, Oppa. Terima kasih Oppa sudah mau kembali kesini. Tapi bukankah Oppa harus mengurusi urusan yang lebih penting?”
“Sudah beberapa kali kukatakan
padamu. Kau masih butuh pengawasan. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian.”
“Kenapa Oppa tidak bisa meninggalkanku sendirian?”
“Apa itu perlu dijawab?”
“Perlu….”
“Karena aku mencintaimu…” Tiba-tiba
jantung Junho berdetak lebih cepat ketika dia menyadari apa yang baru saja
dikatakannya.
Kenzie mengubah pandangannya. Ia
terpekur sejenak, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. “Beri
aku alasan mengapa Oppa mencintaiku.”
“Mengapa aku mencintaimu?” Pria itu
mengerutkan keningnya, tidak mengerti perkataan yang terlontar dari seorang
gadis yang berdiri didepannya. “Bagaimana bisa aku tidak mencintaimu?”
“Junho Oppa, aku yang bertanya…”
“Aku tidak bisa mengatakannya,
Kenzie-ah…”
“Tapi… kenapa?”
“Karena itu memang tidak bisa
dikatakan. Kau tahu? Mencintaimu bukanlah sebuah alasan. Mencintaimu tidak
perlu sebuah alasan.” Junho menatap mata lawan bicaranya yang semakin lama
semakin tertunduk dalam. “Alasan untuk mencintaimu, itu tak lagi cukup
kuungkapkan dengan kata-kata. Itu terlalu sempurna, terlalu indah….”
“Aku tidak mengerti…” Air mata
Kenzie mulai jatuh.
“Kau tidak perlu mengerti, Chagi. Kau hanya perlu menerima dan
memahaminya.”
Junho meraih tangan Kenzie dan
menggenggamnya. Jarinya berusaha menghapus air mata Kenzie yang jatuh membasahi
pipinya. Lalu ia memeluknya dalam kehangatan, berusaha sekuat tenaga untuk
tidak melepasnya. Kenzie melepaskan tangisannya di pundak Junho, membiarkan
semua beban yang selama ini menumpuk dipunggungnya menguap begitu saja. Sekarang, semuanya terasa ringan. Kenzie
tersedu-sedu dan menarik nafasnya yang terasa berat, sementara Junho terus
berusaha membuatnya tenang.
“Apapun akan kulakukan agar kita
tetap seperti ini. Aku mencintaimu, Kenzie.…”
Chapter 1
San Diego, South
California
Tetesan air hujan jatuh membasahi
daun-daun kering di pelataran rumah. Gemiricik air mengalir lembut di sungai
kecil, membawa kedamaian tersendiri. Ini hujan pertama di musim gugur. Seperti
sebuah keajaiban, alur kehidupan yang semestinya sudah tergaris. Seorang gadis
tengah sibuk mempersiapkan keberangkatannya, keberangkatan yang akan membawanya
menuju alur kehidupan yang sesungguhnya. Sepasang mata indahnya menatap lurus
kearah sungai kecil disamping rumahnya.
“I’m
gonna miss you all…..,” tak terasa bulir air mata jatuh menetes dipipinya,
bersamaan dengan rintik hujan yang menyapanya lewat kaca jendela. Terdengar
seseorang mengetuk pintu perlahan.
“Is
everything all right, Honey?” seorang wanita berwajah lembut, penuh
ketenangan dan kasih sayang berjalan mendekat kearahnya. “Ibu akan selalu
merindukanmu, Sayang. Tak perlu khawatir, kau akan baik-baik saja. Ini semua
demi cita-citamu.”
“Ibu, aku menyayangimu.…..” beberapa
saat kemudian seorang pria separuh baya datang dan mencoba menenangkan suasana.
“Kami semua menyayangimu, Chagi.” Sang ayah pun kemudian ikut
memeluk mereka berdua. “Let’s get
prepared, Chagi. You will late if you
don’t. Kita harus sampai dibandara 2 jam lagi.”
“Baiklah Ayah.”
Han Kenzie, seorang gadis California
keturunan Korea yang ingin melanjutkan Pendidikan di Seoul University. Ia rela
meninggalkan kota kelahirannya itu demi cita-citanya. Meskipun terasa berat, ia
harus konsisten pada komitmennya. Jauh dari ayah dan ibu bukanlah hal yang
mudah. Tapi itu adalah satu-satunya cara untuk memenuhi semua hasratnya.
Koper demi koper ia masukkan ke
dalam bagasi mobil. Ia tak mau ambil repot untuk memboyong semua
barang-barangnya ke Korea. Ia lebih memilih untuk menghibahkannya saja pada
beberapa orang teman sebaya dan tetangga-tetangga sekitar rumahnya. Tetesan
hujan masih setia menemaninya, untuk mengantarkannya keberangkatannya.
“Mungkin aku tak lagi bisa mendengar
suara lembut aliran sungai yang menenangkanku disini. Tapi aku yakin aku akan
segera menemukan suara lembut lain yang menenangkanku disana.”
Deru mesin mobil menyusuri jalan
yang basah terkena air hujan. Meskipun demikian, tak membuat Kenzie menunda
keberangkatannya menuju Seoul. Tak beberapa lama kemudian, ayahnya sudah
menghentikan mobilnya diparkiran bandara. Kenzie segera membantu ayahnya
menurunkan barang-barangnya.
“Chagi,
sepertinya penerbanganmu akan sedikit tertunda karena cuacanya tidak
terlalu mendukung. Sebaiknya kita menunggu di lobi saja.” Ayah Kenzie
memberikan informasi.
“Aigoo,
semoga saja tidak terlambat sampai di Seoul.” Kenzie mulai cemas.
“Calm
down, Honey. Kau akan sampai disana tepat waktu. Jangan takut.” Ibu Kenzie
mencoba menenangkannya dari kecemasan.
Benar saja, penerbangan hari itu
harus tertunda. Sepertinya hujan memang tak mengizinkan Kenzie meninggalkan
California. Bukan hanya Kenzie, penumpang pesawat lain dengan puluhan kota tujuan
berbeda pun ikut tertunda penerbangannya. Kenzie bersama ayah dan ibunya duduk
disebuah ruangan lobi bandara sambil menikmati secangkir Vanilla Late.
“Kenzie-ah, bagaimana rencanamu ketika nanti kau sudah sampai di Seoul?”
Tanya ayah Kenzie.
“Sepertinya aku akan langsung
mencari apartemen, Ayah. Pihak universitas bilang, mereka akan memberiku
seorang mentor yang akan mengurusku selama aku menjadi mahasiswa disana.”
“Memberi? Seorang mentor?” Ibu Kenzie
terlihat tidak mengerti dengan arti kata “memberi” yang baru saja dikatakan
Kenzie tadi.
“Yes,
Mom. Maksudnya, akan ada seorang mentor yang akan mendampingiku ketika aku
berada dikota Seoul nanti.”
“Arraseo.
Tapi apa kau sudah mengetahui siapa yang akan menjadi mentormu nanti? Jujur
saja, ayah penasaran ingin mengetahuinya.”
Kenzie tersenyum hangat. “Belum
Ayah. Aku juga belum tahu siapa yang
akan menjadi mentorku nanti.”
“Baiklah, semoga siapapun yang akan
menjadi mentor Kenzie nanti akan tahan menghadapi sikap Kenzie kita yang manja
itu. Benar tidak, Honey?” Goda ibu
Kenzie sambil menatap suaminya.
“That’s
right, Sayang.” Kenzie hanya merajuk melihat kedua orang tuanya bertingkah
seperti itu. Kemudian ayah Kenzie terdiam beberapa saat sebelum beliau
berbicara. “Kenzie, sebenarnya Ayah dan Ibu ingin kau mengenal seseorang ketika
kau tiba di Seoul nanti.”
“Seseorang di Seoul? Siapa dia,
Ayah? Apa dia teman Ayah?”
Ayah Kenzie menundukkan
pandangannya. Kemudian ia menatap Ibu Kenzie penuh arti. “Iya, dia teman Ayah,
teman lama. Dia mempunyai seorang anak. Usianya kurang lebih sebaya denganmu.
Dia sedang kuliah di Seoul University juga.”
“Benarkah? Wah senangnya! Itu
artinya kita pergi kuliah bersama-sama. Kita bisa menjadi teman baik disana.”
Ayah Kenzie hanya bisa tersenyum. “By the
way, siapa namanya, Ayah?”
“Park Eunji.”
“Nama yang bagus. Kedengarannya dia
orang baik, walaupun aku belum pernah melihatnya. Semoga saja dia seperti apa
yang aku pikirkan.”
Seorang informant berjalan menuju
lobi dan mendatangi mereka bertiga yang tengah terlarut dalam pembicaraan
hangat.
“Mr. Han Jin-Young, penerbangan
dengan tujuan Seoul, Korea Selatan akan segera berangkat. Mohon untuk segera
bersiap-siap di terminal 1-C.”
“Terima kasih.” Ayah Kenzie langsung
berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju terminal keberangkatan 1-C.
“Kenzie, sekarang adalah saatnya. Jaga dirimu baik-baik. Kami akan
merindukanmu.” Kenzie memeluk Ayahnya dengan hangat.
“Honey,
Ibu menyayangimu. Jangan lupa minum vitaminmu sebelum kau berangkat kuliah
ya. Kami akan menelponmu sesering mungkin.” Ibu Kenzie menangis sambil
memeluknya. “It’s too hard to letting you
go…”
“Ibu, I’ll miss you so much. I’ll take care myself, I promise. Ibu dan
Ayah juga harus berjanji untuk menjaga diri baik-baik. I love you, Mom, Dad…”
Kenzie memasang sabuk pengaman yang
diinstruksikan oleh pramugari. Pesawat
akan lepas landas beberapa saat lagi. Kenzie menarik nafasnya dalam-dalam, dan
menghembuskannya perlahan. Jantungnya berdegup semakin kencang. Bukan karena ia
takut naik pesawat, tapi karena ia sedang mempersiapkan mentalnya untuk
mengahadapi alur kehidupan baru yang akan dijalaninya di Seoul nanti. Senang,
takut, sedih, bingung semuanya menjadi satu. Kehidupan baru. Suasana baru.
Orang-orang baru. Bagaimana keadaan disana? Siapa saja yang akan menjadi
temannya? Adakah petualangan baru? Akankah ia bertahan? Sanggupkah ia
menjalaninya?
Ia memasang headphone yang tersambung di I-Pod, mencoba rileks dan memejamkan
matanya. Dengan tekad dan keyakinan kuat didalam hatinya, ia berkata, “Seoul,
here I come!”
#NowPlaying 2PM – Take Off
>oOo<
Incheon
International Airport, South Korea
05.12
AM KST
Seorang gadis muda berdiri di
terminal kedatangan sambil membawa papan nama bertuliskan “Han Kenzie”. Park
Eunji, sesekali menoleh ke pintu kedatangan di bandara besar itu. Wajahnya
cantik, meski dandanannya terlihat sederhana. Dengan kepangan rambut dan
kacamata yang terpasang diatas hidungnya, ia dengan wajah berseri-seri menunggu
kedatangan Kenzie. Ia sangat antusias untuk menyambut kedatangan Kenzie, bahkan
untuk seseorang yang belum pernah ia temui sebelumnya.
“Kenapa belum datang juga? Ini sudah
terlambat satu jam dari jadwal kedatangan yang seharusnya. Aigoo, semoga tidak terjadi apa-apa dengannya.” Dengan cemas ia
terus menerus melirik jam tangan yang terpasang ditangan kirinya. Sejenak ia
memutuskan untuk bertanya kepada seorang resepsionis yang sedari tadi
memperhatikan gerak-geriknya yang cemas.
“Permisi, kapan pesawat dari
California akan datang? Menurut jadwal yang saya lihat kemarin, pesawat itu
akan tiba di Seoul sekitar pukul 04.30 AM pagi tadi. Sekarang sudah pukul
05.34, tapi kenapa pesawatnya belum datang juga?”
“Mohon tunggu sebentar, Nona. Kami
akan mencari informasi.” Resepsionis itupun menatap layar monitor yang ada
didepannya dan mencari-cari sebuah data yang diinginkan Eunji. Kemudian ia
kembali mendatangi Eunji yang sedang cemas menunggu. “Maaf Nona. Pesawat yang
Anda tunggu sedang mengalami masalah. Jadi mohon…..”
“Apa??? Pesawat dari California
sedang mengalami masalah? Ya Tuhan, bagaimana ini?” belum selesai resepsionis
itu berbicara, Eunji sudah memotongnya. Ia benar-benar khawatir pada Kenzie.
“Tenang dulu, Nona. Maksud Saya,
pesawat yang datang dari California mengalami keterlambatan karena cuaca buruk
disana. Jadi keberangkatannya pun ditunda. Tapi Nona tak perlu khawatir.
Beberapa menit lagi pesawat itu akan segera landing disini. Silakan Nona
menunggu di terminal kedatangan.”
“Cincayoo?
Ah arasseo, kamsahabnida….” Eunji
terlihat lega setelah mengetahui informasi yanig diberikan resepsionis itu
padanya. Tiba-tiba saja perasaannya berubah. Jantungnya lebih cepat berdetak.
Entah mengapa, dia penasaran sekali dengan seseorang bernama Han Kenzie.
Seperti apa dia? Apakah dia orang baik? Eunji sangat berharap bisa bersahabat dengannya.
Sementara itu Kenzie masih berusaha
mengumpulkan segenap nyawanya yang masih berceceran di dalam pesawat yang
membawanya. Perjalanan California-Seoul bukanlah sebuah perjalanan singkat yang
biasa ia tempuh bersama ayah dan ibunya ketika mereka mengunjungi neneknya di
Chicago, atau pergi berlibur dirumah saudara sepupunya di New York. Perjalanan
kali ini baginya adalah sebuah perjalanan mengelilingi separuh, atau mungkin
tiga perempat bagian bumi lainnya. Sambil membenarkan syal yang melilit
lehernya, ia bersiap-siap merapikan dirinya.
“Han Kenzie, kau tidak boleh
terlihat seperti orang yang baru bangun tidur, walau kenyataannya kau memang baru
bangun tidur.” Kenzie meracau pada dirinya sendiri sambil melihat dirinya
didalam cermin yang ia pegang. Kenzie pun turun dari pesawat dan bersiap
mengantri untuk mengambil beberapa kopernya yang ia bawa dari California.
Eunji semakin tidak sabar menemui
Kenzie diantara kerumunan orang-orang yang baru saja tiba di terminal
kedatangan. Ia meninggikan papan yang bertuliskan “Han Kenzie” agar memudahkan
seseorang yang bernama Han Kenzie menemukannya. “Seperti apa dia? Apakah dia
cantik? Aku tidak sabar ingin melihatnya.” Katanya dalam hati.
Tiba-tiba pandangannya tertuju kepada
seorang gadis yang memakai blouse coklat muda dan syal berwarna senada sedang
berjalan menuju arahnya. Ia terkesiap, terdiam sejenak. “Oh Tuhan, apakah dia
yang bernama Han Kenzie? Dia cantik sekali, seperti malaikat.”
Kenzie mendekat kearah Eunji, karena
Eunji memegang papan nama yang bertuliskan namanya. “Annyeonghaseo, apa kau yang bernama Park Eunji? Perkenalkan, Han
Kenzie-imnida.” Kenzie mengulurkan
tangannya untuk bersalaman dengan Eunji.
Eunji masih terperangah. Ia tidak
percaya benar-benar akan bertemu dengan Kenzie. “Ehm, ne. Annyeonghaseo, Park Eunji-imnida.
Bangapseumnida….” Eunji mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Kenzie.
“Tangannya lembut sekali. Senyumnya sangat menawan. Ia benar-benar seperti
bidadari.” Katanya dalam hati.
“Eunji-ssi, bagaimana aku harus memanggilmu? Apa aku harus memanggilmu Eonni?”
Eunji pun baru tersadar bahwa ia
belum melepaskan tangan Kenzie sejak mereka bersalaman tadi. Cepat-cepat ia
menjawab dengan sedikit gugup. “Anio, kita
sebaya. Panggil saja aku Eunji.”
“Baiklah, Eunji. Senang bertemu
denganmu.”
Mereka pun segera meninggalkan ruang
tunggu dan segera menuju pintu keluar. Eunji membantu membawakan barang-barang
Kenzie yang terlihat banyak dan memasukkannya kedalam taksi.
“Aigoo,
tidak usah repot-repot Eunji. Aku bisa membawanya sendiri.”
“Tidak apa-apa, Kenzie. Aku senang
bisa menyambut tamuku.”
“Ternyata orang Korea itu
ramah-ramah ya?”
“Ah, kau bisa saja. Oh iya, Kenzie,
ku kira kau cukup mahir berbahasa Korea. Apa kau banyak belajar dari ayahmu?”
“Iya. Ayahku sering mengajari dan
membantuku mempelajari bahasa-bahasa seperti Bahasa Korea, Jepang, Indonesia,
bahkan Bahasa Perancis.”
“Kedengarannya kau ini seorang
penggemar sastra ya?”
“Benar. Sastra adalah hidupku. Maka
dari itu aku melanjutkan kuliahku disini, di Seoul University. Tapi disini aku
mengambil Fakultas Art Director.”
“Kenapa kau malah mengambil jurusan
itu?”
“Karena aku juga seorang penggemar
seni.”
“Baiklah, Han Kenzie. Kalau begitu
kita bisa pergi kuliah bersama-sama. Mengenai tempat tinggal, kau tidak perlu
mencari apartemen baru. Kita bisa tinggal bersama-sama di flat-ku. Pamanku yang
memberikannya, jadi aku tidak perlu menyewa. Memang tidak terlalu besar. Tapi
aku akan senang jika kau menerima tawaranku. Bagaimana, Kenzie-ah?”
Kenzie terkejut mendengar penawaran
Eunji untuk tinggal di flat-nya. Apa tidak akan merepotkan? Mengapa Eunji baik
sekali? Bahkan untuk orang yang baru pertama kali ia temui. “Eunji, apa kau
benar-benar tidak akan kebaratan?” Eunji mengangguk mantap. “Baiklah, aku akan
menerima tawaranmu. Terima kasih banyak Eunji.”
Sementara itu taksi terus melaju
menyusuri jalanan kota Seoul yang masih terlihat sepi di pagi hari. Ternyata
udara di Seoul lebih dingin daripada udara di California. Kenzie merapatkan
syal yang dikenakannya untuk menutupi lehernya yang sedikit terbuka. Dari
jendela mobil, ia melihat bangunan-bangunan kota Seoul yang megah.
Taksi yang mereka tumpangi berhenti
disebuah bangunan flat yang cukup tinggi. Memang tidak terlalu mewah seperti
rumahnya di California, tapi flat itu menarik dan nyaman untuk ditinggali.
Kenzie dan Eunji masuk kedalam bangunan flat itu dan menaiki sebuah lift untuk
mencapai lantai 4, tempat flat Eunji berada. Beberapa orang tetangga flat Eunji
membantu mereka membawakan barang-barang kedalam flat-nya. Kenzie mulai
berpikir seharusnya ia lebih banyak menghibahkan barang-barangnya di
California. Eunji memasukkan kunci kedalam lubangnya. Perlahan pintu flat
mungil itu mulai terbuka.
“Selamat datang di flat-ku.” Eunji
menaruh koper-koper Kenzie dilantai dan melepaskan mantelnya.
Kenzie berjalan menuju flat
sederhana itu. Tidak terlalu besar, tetapi sangat unik dan rapi. “Flat yang
bagus. Nyaman dan rapi. Eunji-ah, sepertinya
aku akan senang tinggal disini.”
Eunji menyunggingkan senyum diwajahnya.
“Besok akan kuantar kau jalan-jalan berkeliling kota Seoul. Kau akan jatuh
cinta pada kota ini!”
“Benarkah? Seberapa hebat kota ini
sampai aku bisa jatuh cinta padanya?”
“Jauh lebih hebat daripada
California.”
“Baiklah. Sepertinya memang begitu
kelihatannya. Aku sudah melihat sebagian kecil kota Seoul tadi pagi. Dan aku
mulai setuju denganmu.” Kenzie merapikan barang-barangnya.
“Kau bisa gunakan kamar yang
disebelah kiri. Bagaimana?” Eunji memandu Kenzie menuju sebuah ruangan kecil
yang akan menjadi kamarnya. “Jika kau tidak suka, kau bisa pakai kamarku. Aku
akan berkemas.”
“Tidak, tidak perlu. Aku menumpang
harus tahu diri.” Eunji tersenyum. “Terima kasih, Eunji.”
“Sama-sama, Kenzie. Sebaiknya kau
membersihkan dirimu dan istirahat. Kau pasti lelah setelah perjalanan itu. Aku
akan membuatkan makanan.”
Keesokan harinya, sesuai dengan
janjinya kemarin, Eunji mengantar Kenzie berkeliling kota Seoul. Eunji juga
memperkenalkan berbagai keindahan di kota ini. Mereka mengunjungi tempat-tempat
vital di kota Seoul. Tak lupa, Eunji juga menunjukan tempat dimana gedung
Kedutaan Besar Amerika berada. Kenzie benar-benar mengagumi keindahan kota ini.
Perasaannya mulai bisa menyatu dan tak
lagi merasa asing. Ia merasa beruntung ayahnya mempunyai teman lama
disini, dan mereka sangat baik hati. Sambil melangkahkan kaki, mereka berdua
memutuskan untuk bersitirahat di bangku di sebuah taman kota.
“Kenzie-ah, sekolah mengatakan besok pagi kita harus menemui mentor kita.”
“Bukankah jadwal kuliah baru dimulai
seminggu lagi?”
“Iya. Tapi kita harus menemuinya
besok. Aku juga tidak mengerti kenapa harus besok.”
“Mungkin sekolah menginginkan kita
mengenal mentor kita terlebih dahulu dan bisa membicarakan masalah akademis.”
“Bisa jadi seperti itu. Aku tidak
sabar ingin mengetahui siapa mentorku nanti! Bagaimana denganmu, Kenzie?”
“Aku? Ah, biasa saja. Sebenarnya aku
tidak terlalu ingin siapapun menjadi mentorku.”
“Kenapa memangnya?” Eunji
mengerutkan kening. Ia mulai berpikir bahwa gadis ini aneh.
“Aku tidak suka orang lain mengatur
hidupku. Apalagi dia belum aku kenal.”
“Aish! Kenzie-ah, jangan seperti itu. Walau bagaimanapun juga kita ini masih
membutuhkan seorang pembimbing. Mungkin dia sangat berpengalaman.”
“Ya, kita lihat saja nanti. Semoga
saja orangnya tidak menyebalkan.”
Mereka berdua tertawa renyah sambil
menikmati satu cup jus strawberi ditangan masing-masing. Angin menghembus
membelai rambut indah mereka berdua. Eunji masih terperanjat ketika melihat
senyum Kenzie mengembang diwajah cantiknya. Rambut panjangnya yang terurai
indah, menggelombang ditiup angin. Benar-benar sempurna seperti malaikat,
pikirnya dalam hati. Diam-diam sebersit perasaan iri menggumpal di dada Eunji. Seandainya aku bisa seperti dia….
“Kenzie-ah, apakah kita bisa bersahabat?”
Kenzie terkejut endengar pertanyaan
Eunji. Sambil tersenyum dia berkata. “Mengapa kau bertanya seperti itu? Tentu
saja aku mau. Kau ini baik sekali, Eunji. Aku pasti mau menjadi sahabatmu.”
Mereka berdua kembali tersenyum.
Kenzie memeluk Eunji dengan hangat, tanda persahabatan mereka resmi dimulai.
Angin sejuk ditaman kota pun kembali meniup tubuh mereka berdua. Daun-daun
bertebangan seakan ikut merayakan kebahagiaan mereka yang bersahabat.
“Hari sudah mulai gelap. Sebaiknya
kita pulang sekarang.” Eunji menuntun Kenzie menuju subway terdekat untuk
membawa mereka pulang kerumah.
>oOo<
“Kau sudah bangun? Ini masih sangat
pagi.” Kenzie melirik jam dinding yang ada didapur. Pukul 04.30. Terlalu pagi
untuknya yang biasa terlambat bangun. Matanya masih setengah terbuka. Sambil
merapatkan jaketnya, ia berjalan mendekati Eunji yang sedang sibuk menyiapkan
makanan.
“Aku terbiasa bangun jam segini.
Biar tidak terburu-buru nanti.” Eunji melihat Kenzie yang sepertinya masih
berjuang untuk membuka matanya. “Kalu masih mengantuk, tidur saja lagi. Kau
pasti terbangun karena mendengar suara berisik didapur kan?”
Kenzie mengangguk, ia masih berusaha
menyadarkan dirinya. “Aku tidak ingin tidur lagi. Kau butuh bantuan?”
“Tidak perlu. Sudah jangan
membantah. Kau masih sangat mengantuk. Kembali ke kamarmu.”
Kenzie tidak bisa lagi menahan rasa
kantuk yang menyerangnya. Iapun membalikkan tubuhnya dan kembali ke kamar
dengan mata yang terpejam. “Baiklah, terserah kau saja.”
Jam weker dimeja sebelah tempat
tidur Kenzie berdering. Pukul 06.00. Kenzie meregangkan otot tubuhnya yang baru
saja relaksasi. Hari ketiganya di kota Seoul, tapi ia masih tetap belum bisa
menghilangkan kebiasaannya terlambat bangun. Dengan dibalut piama tidur, ia
membuka lemari baju dan mengambil peralatan mandi.
“Kemana Eunji?” Ia berusaha
menemukan gadis itu didapur. “Apa aku sudah sangat terlambat untuk bangun?
Bagaimana kalau dia berangkat duluan? Aigoo,
aku ka tidak tahu dimana tempatnya.” Kenzie bergegas masuk kamar mandi dan
membersihkan tubuhnya secepat kilat. Tapi ternyata begitu ia selesai mandi,
Eunji sudah duduk di meja makan.
“Cepat pakai bajumu. Kita sarapan
bersama.”
Kenzie mengangguk dan masuk
kekamarnya. Beberapa menit kemudian ia keluar kamarnya dan siap untuk sarapan.
“Kau tadi pergi kemana? Aku mencarimu tahu.”
Eunji tersenyum jahil. “Kenapa? Kau
takut aku tinggalkan ya?”
“Tidak juga.” Kenzie menyanggah
dugaan Eunji. Padahal ia memang takut jika Eunji meninggalkannya dan pergi
lebih dulu.
“Tadi aku pergi membeli beberapa
keperluanku dan persediaan untuk didapur.” Kenzie hanya mengangguk tipis. “Ayo
cepat habiskan makananmu. Kita harus pergi sekarang.”
“Sekarang? Kau lihat sekarang masih
pukul 06.37. Apa orang-orang Korea harus melakukan aktivitasnya sepagi ini?”
“Beberapa. Termasuk aku. Aku suka
tepat waktu dan tidak suka membuat orang lain menunggu.”
“Aku justru sebaliknya.” Ujar Kenzie
dengan polos.
“Kau harus merubahnya. Mulai saat
ini, kau juga harus terbiasa bangun pagi seperti aku. Kita akan kuliah pagi
mulai minggu depan.” Kenzie termenung mendengar Eunji yang mengatakan bahwa
mereka harus kuliah pagi. Ia tidak bisa membayangkan harus bangun sepagi itu
setiap hari. “Tidak apa-apa, kau akan terbiasa. Baiklah, ayo kita berangkat
sekarang.” Eunji menggapai kacamatanya diatas meja dan memakainya sebelum keluar
dari flat.
Mereka berdua berjalan menyusuri
trotoar dipinggir jalan. Pagi itu cuaca sedikit berkabut. Tapi ternyata itu
tidak menghalangi orang-orang intuk beraktivitas pagi itu. Buktinya sudah
banyak orang yang berlalu lalang mengitari kota.
“Kita mau kemana?” Kenzie penasaran
Eunji akan membawanya kemana.
“Kau lupa? Kita akan menemui mentor
kita.”
“Aku tahu, Eunji-ah. Maksudku dimana kita akan
menemuinya? Dan apakah harus sepagi ini?”
“Dia meminta kita menemuinya di
restoran Jepang dekat taman kota tempat kita beristirahat kemarin. Kita akan
menemuinya nanti sore, sekitar pukul 05.00”
“Lalu kenapa kita harus pergi sepagi
ini?”
“Kenzie, masih banyak tempat di kota
Seoul ini yang belum aku kenalkan kepadamu.”
“Baiklah, aku ikut katamu saja.”
Kenzie menghentikan ocehannya. Namun bebearap saat kemudian ia tak tahan untuk
berhenti berkicau. “Apa dia orang Jepang?” Kenzie menjadi penasaran.
“Entahlah. Aku juga belum pernah
melihatnya.”
“Lalu bagaimana kau tahu dia meminta
kita menemuinya di restoran Jepang?”
Eunji menghentikan langkahnya
mendengar pertanyaan Kenzie yang seperti menginterogasi. Ia pun tersenyum sambil
menatap Kenzie. “Kenzie-ah, dia
mengirimiku e-mail kemarin malam dan mengatakan kita harus menemuinya hari ini
di restoran Jepang. Sepertinya kau terlihat sangat antusias untuk menemuinya.”
“Tidak juga. Aku hanya penasaran.
Aku ini sangat mudah penasaran kau tahu.” Kenzie dan Eunji kembali melangkahkan
kaki mereka menuju subway dan naik kereta bawah tanah agar mereka bisa mengunjungi
tempat-tempat yang ingin mereka datangi di kota Seoul.
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00.
Langkah kaki Kenzie terhenti ketika didepannya sudah megah berdiri sebuah
bangunan tinggi bergaya arsitektur khas Negeri Sakura. Para pelayannya menggunakan
kimono, baju khas Jepang, dengan ramah menyambut pelanggan dan mempersilakan
mereka masuk. Kenzie dan Eunji memilih meja dekat jendela, agar mereka bisa
melihat suasana luar restoran sekaligus mengira-ngira orang yang akan menjadi
mentor mereka.
Seorang pelayan wanita mendatangi
meja mereka berdua menggunakan baju kimono menawarkan menu. Setelah selesai
mencatat pesanan mereka, pelayan itu pergi meninggalkan Kenzie dan Eunji untuk
membuatkan pesanan mereka. Suasana restoran itu begitu damai. Aroma bunga
sakura yang khas memenuhi ruangan, ditambah lagi alunan musik Kitaro
mendayu-dayu keluar dari pengeras suara yang dipasang disetiap sudut ruangan.
Lembut sekali. Pelayan yang tadi membuatkan pesanan, kembali dengan membawa
baki yang berisi dua cangkir Green Tea hangat
pesanan Kenzie dan Eunji.
Kenzie mengangkat cangkir Green Tea didepannya dan meminumnya
perlahan. Aroma teh hijau yang khas menyeruak dari cangkir mungil ditangannya.
Sesekali ia melihat keluar jendela, pemandangan malam kota Seoul yang terbingkai
indah lewat kaca besar didepannya. Ia merilekskan posisi duduknya. Mungkin
aroma Green Tea hangat sudah membantu
pikirannya tenang. Kenzie mulai mengira-ngira siapa orang yang akan menjadi
mentornya. Apa dia akan berhasil menjadi mentor yang baik bagi Kenzie? Kenzie
hanya membiarkan pikirannya terus melayang bersama pemandangan indah kota Seoul
yang terpampang didepannya.
Pintu restoran terbuka. Beberapa
pelayan menyambut kedatangan pelanggan yang datang seperti yang mereka lakukan pada Kenzie dan
Eunji tadi. Seorang pria muda berjaket merah berjalan mendatangi meja mereka.
Eunji segera menyadari seseorang sedang mendekat kearah mereka. Kenzie masih
terpaku melihat pemandangan kota Seoul sampai Eunji menyenggol sikunya. Kenzie
pun sedikit terkejut karena Eunji sudah berdiri terlebih dahulu disampingnya.
Ia melihat seorang pria tampan
berjalan mendekat kearah mereka. Apakah
dia yang akan menjadi mentorku? Pria itupun hampir sampai di meja mereka.
Eunji segera memegang tangan Kenzie dan menyuruhnya untuk segera berdiri.
Kenzie cepat-cepat mengubah posisinya dan mengikuti isyarat Eunji.
”Annyeonghaseo,
maaf telah membuat kalian berdua menunggu.” Pria itu membungkuk saat
mengucapkan salam, kemudian membuka kacamata hitamnya dan meletakkannya diatas
meja. “Silakan duduk.” Pria itu mempersilakan Kenzie dan Eunji duduk.
“Sudah lama menunggu?” Kenzie dan
Eunji hanya menggeleng menjawab pertanyaan pria itu. Ia hanya tersenyum
menyadari kegugupan kedua gadis cantik yang sedang duduk didepannya. Ia
melambaikan tangannya pada pelayan restoran dan mempersilakan kedua gadis itu
memesan makanan lebih dulu. Saking gugupnya, Kenzie dan Eunji sepakat memesan
makanan yang sama melalui isyarat mata. Kemudian giliran pria itu yang memesan
makanan. Beberapa saat kemudian ia selesai memesan makanan dan membiarkan
pelayan itu pergi menyiapkan pesanan.
“Baiklah, kurasa kalian sudah tahu
untuk apa kalian aku undang kemari. Perkenalkan, aku Lee Junho. Aku adalah
senior kalian di Fakultas Art Director, dan akan menjadi mentor kalian berdua
untuk beberapa waktu kedepan. Sekarang
giliran kalian yang memperkenalkan diri.”
Kenzie dan Eunji hanya saling
berpandangan sebelum mereka memutuskan siapa yang terlebih dahulu
memperkenalkan diri. Lagi-lagi menggunakan isyarat mata, mereka berdua saling
melempar giliran untuk memperkenalkan diri.
Pria bernama Lee Junho itu hanya
tersenyum melihat tingkah kedua gadis cantik yang akan menjadi adik didiknya
itu, dan akhirnya memutuskan Eunji yang terlebih dahulu memperkenalkan diri.
Eunji hanya mengangguk setelah mengetahui dirinya yang pertama memperkenalkan
diri. Kenzie hanya menjulurkan lidahnya pada Eunji karena mengetahui dirinya
mendapat giliran yang kedua. Eunji membenarkan posisi kacamatanya yang
sebenarnya tidak apa-apa, hanya sekedar untuk menghilangkan kegugupannya.
“Namaku Park Eunji-imnida.” Eunji menganggukkan kepalanya
tanda hormat sambil tersenyum pada Junho.
Junho membalas anggukan Eunji sambil
tersenyum padanya. Ia merubah pandangannya pada Kenzie. “Sekarang giliranmu,
Nona.”
Kenzie melihat Eunji berbalik
menjulurkan lidah padanya. “Namaku Han Kenzie-imnida.” Kenzie menganggukkan kepala dan tersenyum pada Junho
seperti yang dilakukan Eunji tadi.
“Han Kenzie-ssi, sepertinya kau bukan berasal dari Korea, bukan?”
Kenzie terkejut mendengar pertanyaan
Junho. Bagaimana Junho bisa tahu bahwa dirinya bukan berasal dari Korea?
Bagaimanapun juga wajahnya masih mewarisi ayahnya yang asli orang Korea,
meskipun memang ibunya adalah asli keturunan California.
“Sebenarnya aku baru saja pindah ke
Seoul tiga hari yang lalu.”
“Darimana asalmu?”
“San Diego, California Selatan.”
Junho hanya tersenyum mendengar
jawaban Kenzie. “Aksenmu sangat berbeda dari kebanyakan orang Korea.” Kenzie
tersenyum, ia tidak merasa heran Junho mengetahui dirinya bukan asli orang
Korea dari cara ia berbicara. “Baiklah Kenzie-ssi dan Eunji-ssi, mulai
saat ini aku sudah resmi menjadi mentor kalian. Dan kalian boleh memanggilku Oppa.”
Mereka bertiga terlibat percakapan
hangat sambil menikmati hidangan yang sudah mereka pesan. Mencoba mengenal satu
sama lain lebih jauh dan mencoba membangun kerjasama dengan baik. Sesekali
salah satu diantara mereka melontarkan lelucon dan tertawa bersama untuk
mencairkan suasana. Mereka semua menceritakan diri mereka masing-masing untuk
mengenal lebih dekat satu sama lain. Tak terasa, waktu terus berjalan. Langit
malam dikota Seoul pun semakin larut. Kenzie dan Eunji pun meminta izin untuk
pulang.
“Kalian tinggal dimana?” Tanya Junho
pada kedua gadis itu.
“Kami tinggal di satu flat yang sama
di distrik dekat kawasan ini.” Kenzie mencoba menjelaskan.
“Ini sudah larut malam. Sebaiknya
aku antarkan kalian pulang.”
Kenzie dan Eunji kembali saling
berpandangan dan tanpa sengaja mereka mengucapkan kata-kata yang sama
bersamaan. “Tidak usah usah repot-repot, Oppa.
Kami bisa pulang sendiri.”
“Tidak apa-apa. Aku adalah mentor
kalian, jadi aku juga ikut bertanggung jawab pada kalian. Dan kalian tidak usah
takut, aku bukan orang jahat.” Junho tersenyum sambil memanggil pelayan untuk
memberikan bill-nya. Ia berdiri dan berjalan mendahului mereka berdua keluar
dari restoran. “Ayo, kalian bilang ini sudah larut malam kan?”
Kedua gadis itu itu berjalan
dibelakang Junho sambil berbisik-bisik membicarakan sesuatu. Tapi tanpa Kenzie
sadari, Eunji terus menerus menatap kearah Junho sambil memperhatikan
langkahnya. Sementara itu Kenzie hanya memutar-mutar matanya mencari pemandangan
indah yang bisa ia temukan disekitar area lapangan parkir restoran Jepang itu. Junho
menghentikan langkahya ketika mereka telah sampai di mobil BMW Silver miliknya.
Sambil membuka pintu, Junho mempersilakan Kenzie dan Eunji masuk ke mobilnya.
“Silakan masuk, Nona-Nona.” Katanya
sambil membukakan pintu mobil. Beberapa saat kemudian mobilnya sudah
meninggalkan lapangan parkir.
Di sepanjang perjalanan menuju flat
mereka, Junho memperhatikan kedua gadis itu dari spion depan mobilnya.
Sepertinya bukan hanya Eunji yang kagum dan terperanjat pada kecantikan wajah
Kenzie, Junho pun demikian. Wajah Kenzie yang merupakan campuran darah Korea
yang ia dapat dari ayahnya dan darah California dari ibunya, ternyata membuat
perhatian Junho tertuju padanya. Gadis itu melihat pemandangan malam Kota Seoul
dari kaca di kursi belakang mobil. Wajahnya sesekali terlihat tersenyum manis
mengagumi apa yang sedang ia lihat. Cantik
sekali dia, ucap Junho dalam hati.
“Eunji-ah, sepertinya kau memang benar. Kota ini sangat indah….” Wajah
Kenzie sumingrah ketika mobil yang mereka tumpangi melintas didepan gedung
Seoul Tower. Eunji mengangguk setuju dan mulai menjelaskan sedikit tentang
Gedung Seoul Tower itu.
“Kau akan lebih jatuh cinta pada
kota ini setelah kau mulai pergi kuliah nanti, Kenzie.” Tiba-tiba Junho
menyeletuk didalam pembicaraan.
“Aku harap juga begitu, Oppa.” Kenzie kembali tersenyum sambil
menatap mata Junho lewat kaca spion mobilnya.
Junho kembali memfokuskan
pandangannya pada kemudi mobil yang sedang dikendarainya setelah matanya
beberapa saat bertemu dengan sepasang mata indah milik Kenzie. Ia merasa
beruntung telah dipertemukan dengan gadis secantik Kenzie. Belum selesai dia
memikirkan gadis yang baru saja ia temui tadi, kini mobilnya telah sampai di
depan parkiran sebuah gedung flat tempat Kenzie dan Eunji tinggal. Mereka
bertiga turun dari mobil.
“Kamsahabnida,
Junho Oppa. Terima kasih sudah
mengantar kami pulang.” Eunji membungkuk mengucapkan terima kasih pada Junho
dan mewakili Kenzie.
“Cheonmaneyo.
Sebaiknya kalian segera beristirahat. Sampai jumpa.” Junho memasuki
mobilnya dan melambaikan tangan pada mereka berdua. Eunji masih terus
memperhatikan mobil Junho yang semakin lama semakin menjauh sampai akhirnya
hilang ditelan kegelapan malam. Kenzie sudah terlebih dahulu masuk kedalam
gedung sambil menunggu pintu lift terbuka.
>oOo<